CERPEN : Rasa Islam di Tanah Rencong




Rasa Islam di Tanah Rencong





Serambi Mekah, mungkin itulah sebutan paling familiar bagi masyarakat untuk sebuah provinsi yang terletak di ujung utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Tempat yang mulai aku huni ketika aku mulai bernajak dewasa, tidak kurang dari tujuh kali raya aku sudah hidup di kota ini. Walaupun aku tidak menyaksikan bagaimana Aceh diratakan oleh tsunami 2004, tapi aku jelas merasakan betapa hancurnya perekonomian dan seluruh bidang kehidupan yang telah berjalan sebelumnya. Tapi, setidaknya itulah yang mengakhiri 30 tahun perseteruan antara anggota TNI pemerintahan Aceh dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik yang menundaku untuk pergi ke tempat ini dengan keluargaku sehingga aku harus singgah dulu di kota Tanjung Balai. Namun, ternyata bencana tsunami mengubah takdir Aceh selamanya dan sampailah aku kesini. Provinsi Aceh. Adalah hal yang baru bagiku dan keluargaku tinggal di tempat yang menjalankan hukum dan syariat Islam. Walaupun kami adalah muslim dan pernah hidup di lingkungan muslim, tetap ini menjadi hal yang baru dan istimewa bagi kami.

Pertemuan antara ayahku dengan seorang wartawan dari Kalimantan lah yang menjadi sebab mengapa kami pindah ke Aceh. Dulunya, ayahku adalah seorang pegawai di Dinas Pendidikan Kabupaten Demak, provinsi Jawa Tengah. Sebenarnya, setelah ayahku mengakhiri tugasnya di kantor tersebut, ayahku berencana untuk menunggu orang tuanya yang sakit-sakitan. Sayangnya, kakek-nenekku meninggal tepat dua hari menjelang ayahku purna tugas karena sebuah kecelakaan tunggal. Akhirnya, tinggallah keluarga kami sendiri yang bertahan di Demak. Tapi, ayahku ingin pindah dari Kota ini, mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang berguna, pindah ke tempat lain. Apalagi, rumah yang sekarang kami huni bukan rumah kami, rumah ini kami kontrak dari seorang pengusaha yang kontraknya akan habis sekitar empat bulan lagi. Beberapa hari menjelang kontrak rumah itu habis, wartawan yang akan meliput kemenangan Jawa Tengah di Olimpiade Sains Nasional 2004 pergi ke kantor Dinas, salah satu dari mereka adalah teman ayahku ketika bekerja dan mampirlah beliau ke rumah.



“Assalamu’alaikum……!” salam Hendrawan, wartawan muda teman ayahku

“Wa’alaykumussalam...! jawabku sambal membukakan pintu

“Dik, ayahnya ada? Kakak mau bertemu dengan ayahmu”

“Oh! Mau cari ayah? Ayahnya masih pergi, mungkin sebentar lagi pulang, biasanya ayahku pulang setelah Dhuhur. Kakaknya mau nunggu?

“Iya, boleh”

“Kalau begitu, Kakak silakan masuk dulu, minumannya juga sudah ada, ibuku tadi kebetulan buat”

“Iya dik, makasih”

          Aku mencoba menghubungi ayahku, sepertinya tamu yang datang tamu penting yang datang dari jauh. Untungnya ayahku sudah perjalanan pulang.

“Oh ya! Ngomong-ngmomong kakak ini kerjanya apa yak ok bawa kamera segala? Bagus lagi kameranya”

“Oh ini ta? Ini kamera lama peninggalan ibu. Kakak biasanya memakai kamera ini untuk meliput peristiwa-peristiwa penting”

“Jadi kakak ini seorang wartawan ya?

“Kurang lebih seperti itu. Dulu kakak biasa menulis di koran-koran dan menulis cerpen di majalah. Setelah ibu pensiun, kakak mulai meliput berita dengan kamera ini dan biasanya kamera inilah yang menemani kakak ketika jalan-jalan liburan”

“Wah hebat sekali ya kakak ini. Ngomong-ngomong rumah kakak dimana?”

“Kakak tinggal di Kalimantan, kebetulan kakak lagi meliput disini. Dulu ketika ayahmu masih di kantor, kakak sering main ke kantor ayah. Ayahmu pintar memotret dan hobi menulis juga. Kakak banyak belajar dari ayahmu. Ayahmu sangat baik, jadi kakak menyempatkan mampir kesini.”

“Jadi kakak jarang pulang ke Kalimantan?”

“Sudah hampir dua bulan ini kakak tidak pulang, kakak lebih suka pergi mencari berita apalagi setelah orang tua kakak meninggal, kakak hanya pulang kalau benar-benar longgar. Oh ya ngomong-ngomong ayahmu pergi kemana yak kok sampai siang gini?”

“Setelah ayahku pensiun dan kakek-nenekku meninggal, ayah selalu mencari kegiatan keluar. Hari ini ayahku pergi memancing di kolam dekat pasar. Sebenarnya ayahku ingin pindah, tapi belum tau kemana.

“Itu ayah sudah pulang, biar aku buka pintunya, kakak minum tehnya”

“Ya”

          Tak sempat istirahat, ayahku langsung ngobrol dengan Hendrawan, bercengkerama dengan teman lamanya, aku hanya melihat mereka saling bercerita tentang masa lalunya saat ayahku masih di kantor. Tiba-tiba pembicaraan mereka membelok, Hendrawan mengajak ayahku ke Aceh untuk menjadi relawan bencana tsunami. Sebagai seorang yang ingin pindah mencari kegiatan, ayahku langsung menyetujui hal tersebut, sampai dibawalah kami ke provinsi Aceh hingga sekarang.















          Awalnya, ayahku hanya ingin tinggal sebentar di Aceh, tapi karena kami nyaman hidup disini ayahku memutuskan untuk membeli rumah disini. Begitu indahnya Islam, begitu kuatnya Islam di negeri bernuansa Islam menjadikan ayahku tertarik untuk menghabiskan sisa hidupnya di kota ini walaupun hanya kami bertiga tanpa ada saudara dan kerabat. Tapi semua seolah menyatu dalam ukhuwah menjadi bagian dalam keluargaku. Aku sangat sayang kepada mereka. Mereka sangat ramah dan baik. Banyak orang baik disini, lebih banyak daripada di Demak. Sepertinya Islam memang memberikan pengaruh yang luar biasa bagi penduduk Aceh.

         

Di Aceh, aku sekolah di SMA Negeri 1 Lembah Seulawah, tidak jauh dari rumahku, tapi jalan menuju kesana cukup sulit walaupun masih dapat dilalui dengan motor. Pertama kali tiba di sekolah, aku sangat heran, semua wanita disini berhijab, kelas laki-laki dengan perempuan dipisah, semua siswa diwajibkan menghafal al-qur’an dan hadist. Seluruh tulisan dan beberapa literasi disini juga menggunakan Bahasa arab. Cukup kaget, namun lama-kelamaan aku mulai terbiasa dan nyaman hidup disini. Tidak hanya orang dewasa yang ramah, siswa-siswa disini juga baik. Seolah-olah mereka lebih cepat dewasa setelah peristiwa tsunami itu. Mereka sadar dan mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki Aceh di masa yang akan datang. Tidak sedikit dari teman kelasku sudah membantu orang tuanya bekerja, memperbaiki perekonomian mereka. Hamdan salah satunya, setiap berangkat dia selalu membawa jajanan untuk dititipkan ke kantin sekolahan. Hamdan banyak membantuku mengenalkan lingkungan Aceh, dia juga membantuku menyelesaikan masalah-masalah sekolah.

“Apa tugas kamu sudah selesai kok nyantai disini?” tanya Hamdan sambil menepuk pundakku

“Untuk tugas Bahasa Indonesia yang kemarin, aku sudah selesai. Aku terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia di Demak, jadi aku cepat mengerjakannya.”

“Oh, syukurlah kalau begitu. Kalau ada tugas lain yang kamu kesulitan untuk mengerjakan, Insya Allah aku bisa membantumu.”

“Iya Hamdan, trima kasih. Ngomong-ngomong disini belum punya perpustakaan yak? Kok saya nggak lihat ada perpustakaan?”

“Sebenarnya dulu ada, tapi rata oleh tsunami. Beberapa bangunan memang sudah mulai dipugar, tapi untuk sementara hanya bangunan-bangunan kelas yang sudah selesai. Tapi untuk perpustakaan Islam sudah ada kok, ada di dalam masjid, masjid itu adalah salah satu bangunan yang tidak roboh setelah bencana, hanya saja masjid kita memang tidak terlalu besar.”

“Wah!! Jadi disini ada masjidnya ya, kayak pondok pesantren saja.”

“Memang sudah banyak sekolah umum di kota kita ini yang punya masjid. Rata-rata masjid-masjid tersebut dibangun tahun 1999, sejak Aceh diresmikan menjadi daerah istimewa untuk melaksanakan syariat Islam secara legal dan formal”

“Oh jadi Aceh ini memang istimewa ya. Bagaimana kalau nanti kita pergi menyusuri kota Aceh? Aku ingin tau lebih jauh tentang kota ini.”

“Ok, boleh, kebetulan aku nanti juga kosong, jadi aku bisa nemenin kamu”



Hari ini, sepulang sekolah aku langsung pulang ke rumah. Aku mempersiapkan beberapa alat dokumentasi sederhana untuk perjalananku siang hari ini. Aku berharap aku mendapatkan banyak hal tentang Aceh hari ini. Ibuku membawakan aku bekal untuk aku dan Hamdan. Kami berangkat sekitar pukul dua siang menaiki motor. Kami langsung menuju Kantor Bupati Lama di Kota Jantho, yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan. Saat itu Satuan Polisi Pamong Praja ( Satpol PP ) dan para Wilayatul Hisbah ( sebutan polisi penegak syari’ah di Aceh ) sedang mengadakan pelatihan, sayangnya kami belum bisa masuk disitu karena alasan perizinan. Akhirnya kami hanya mengamati lingkungan di sekitar kantor.

Lagi-lagi aku dibuat heran dengan penerapan hukum syari’at Islam di kota Aceh. Jarang sekali aku melihat perempuan keluar sendiri disini bahkan di pasar-pasarpun rata-rata yang berjualan adalah kaum laki-laki. Mungkin karena ini adalah pusat keamanan Wilayatul Hisbah. Kata orang, kalau ditemukan perempuan yang dibonceng oleh seorang laki-laki yang bukan mahram, WH bisa saja menindaknya dengan tegas. Atau apabila ditemukan perempuan yang menggunakan celana pendek, maka WH akan mengecat celana tersebut agar tidak dapat digunakan lagi, atau setidaknya mereka memperingatkan dengan sopan. WH memang biasa merazia wanita yang tidak berjilbab untuk mengurangi kemaksiatan di Aceh. Selain itu juga sering petugas WH mengingatkan kaum adam untuk bergegas ke masjid di hari Jum’at, bagi mereka yang masih sibuk berdagang di pasar atau bekerja di kantor. Pada malam hari, pihak WH juga sering menggrebek kamar hotel tempat pasangan muda-mudi melakukan khalwat atau tempat perjudian dan mabuk-mabukan. Mereka yang terbukti bersalah langsung dibawa ke kantor WH.

Setelah acara pelatihan di Kantor selesai, aku dan Hamdan akhirnya bisa masuk ke kantor tersebut. Dan ternyata di kantor inilah tempat yang digunakan untuk hukuman cambuk. Kami sempat bertanya kepada salah satu anggota pelatihan yang belum pulang. Kata beliau, hukuman cambuk memang sudah resmi berlaku di Aceh. Biasanya hukuman cambuk diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran berat seperti berjudi, mabuk-mabukan, berzina, sabung ayam dan sebagainya. Ini adalah salah satu hukum yang sudah diterapkan di Aceh. Sebenarnya, rakyat juga ingin memberlakukan hukuman potong tangan bagi pejabat yang korupsi, tapi hal ini belum disetujui oleh DPRA ( Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ).

Di kota Aceh, non-muslim dapat hidup disini dengan aman dan tenang. Tetapi, mereka harus menghormati seluruh larangan yang ada dalam qanun Jinayah. Non-muslim yang menjadi tersangka boleh memilih untuk tidak mendapatkan hukuman cambuk tetapi tetap mendapatkan hukuman sesuai dengan KUHP. Benar-benar luar biasa. Aku sangat kagum dengan seluruh peraturan yang berlaku disini. Semuanya diperlakukan seadil-adil mungkin, tidak ada yang merasa terkucilkan.

Sore ini aku melanjutkan perjalananku di kota Aceh Besar, kali ini aku sendirian. Aku hanya berjalan menyusuri gang didepan rumahku. Aku melihat anak-anak berlarian menuju surau-surau belajar membaca al-qur’an, sedangkan para santri di pondok pesantren memulai kegiatan mengaji bersama para ustadz. Saat adzan Maghrib tiba, semua keluar rumah, mengisi shaf-shaf masjid yang kosong, hingga penuh masjid itu dengan jama’ah. Selesai sholat, mereka tidak langsung pulang, selalu ada kegiatan pengajian rutin di masjid hingga malam hari. Biasanya, waktu setelah pengajian mereka gunakan untuk melakukan musyawarah bersama para warga. Disini masjid selalu ramai dengan jama’ah, karena semua orang tua pergi berjama’ah. Bahkan ketika tengah malam, selalu aku temui empat atau lima shaf jama’ah yang mengisi masjid untuk sekedar sholat Tahajud dan I’tikaf. Mungkin malam adalah waktu dimana Aceh benar-benar menunjukkan identitasnya sebagai kota Serambi Mekkah, bukan karena tempatnya mirip Arab Saudi, tapi karena nuansa Islam begitu terasa kuat disini.

Menjelang Ramadhan tiba, di Aceh dikenal ada tradisi Meugang, yaitu aktivitas membeli, mengolah dan menyantap daging sapi selama dua hari menjelang puasa. Saat puasa, aku tidak akan melihat warung-warung makanan berjualan secara bebas, bahkan orang makan pun jarang aku temui. Kehidupan mulai terlihat pada sore hari, sekitar pukul empat sore pedagang makanan, buah, sayuran, takjil, kue mulai menjajakan dagangannnya. Para ta’mir masjid juga mempersiapkan makanannya untuk para musafir di sore hari. Ibadah sholat tarawih juga berlangsung tenang dan hikmat disini, seolah semuanya mengerti bahwa ini adalah waktu untuk beribadah.

Memasuki pekan kedua Ramadhan, aku biasanya pergi ke masjid bersama keluargaku. Alunan suara merdu dari para hafidz muda mulai terdengar, menambah keagungan bulan yang mulia ini. Setelah itu disambung dengan pengajian dan tadarus al-Qur’an hingga malam hari. Mungkin, inilah bulan yang paling ditunggu-tunggu umat muslim di Aceh, bahkan di seluruh dunia hingga mereka berdo’a agar dipertemukan lagi dengan bulan Ramadhan.

Nuansa Islam yang indah ditutup dengan peringatan hari raya Idul Fitri. Semua terasa lengkap. Kedamaian dan keindahan Islam benar-benar terlihat di kota ini. Tampaknya, aku benar-benar jatuh cinta dengan kota ini, kota yang menyajikan seluruh keindahan Islam di seluruh wilayahnya. Aku ingin terus tinggal di kota ini sambil membantu memperbaiki perekonomian warga disini di masa yang akan datang.





@gr.akbar





   NOTE: Penulis minta maaf bila dalam tulisan ini ada kesalahan. Saran dan kritik jelas dibutuhkan. Keep reading!

Pustaka : http://gardanasional.id/post/582/mirip-nabawi-cantiknya-wajah-baru-masjid-baiturrahman-aceh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apresiasi Batik Sekar Jagad

Apresiasi Seni Rupa Karya Pawel Kuczynski

Segera Nyalakan Apinya